“Aku Cuma Ikuti Naluri”: Pemuda Kendari Ungkap Pola Tak Terduga yang Ubah Nasibnya di Sweet Bonanza
Diterbitkan pada
Di Meja Sederhana, Sebuah Naluri Terlahir
Di sebuah rumah sederhana di pinggiran Kendari, malam itu angin bertiup pelan. Di meja kecil yang sudah agak kusam, seorang pemuda bernama Rifki duduk menatap layar laptop tuanya. Sehari-hari ia bekerja serabutan; hidupnya tidak buruk, tapi juga jauh dari kata stabil. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda — seolah pikirannya menolak diam.
Rifki menatap layar yang menampilkan gambar-gambar berwarna cerah: desain manis, buah-buahan berputar dengan ritme tertentu. Ia menyebutnya “pola warna”, sesuatu yang selama ini ia amati sekadar untuk mengasah fokus. Tapi malam itu, ada dorongan kecil di dadanya untuk mencatat lebih dalam.
“Aku cuma pengen tahu… kenapa urutannya selalu begini?”
Ia mengambil buku catatan kecil, mulai menggambar pola yang ia lihat: ungu, hijau, biru, merah muda — urutan yang berulang. Tanpa maksud lain, ia mencatat. Dari situlah ia melihat ritme, harmoni, dan akhirnya membentuk apa yang ia sebut Pola Bonanza.
Naluri Menjadi Karya
Rifki bukan ahli statistik. Ia hanya pengamat. Dalam pengamatan itu terdapat kesabaran: memperhatikan, mencatat, menguji. Keesokan harinya ia mengunggah coretannya ke forum desain digital dengan caption sederhana: “Kalau hidup punya pola seperti ini, mungkin keberuntungan cuma soal waktu.” Unggahan itu tak dinyana mendapat respons positif—banyak yang memuji nuansa menenangkannya.
Satu komentar dari seorang desainer di Jakarta membuka pintu baru: tawaran kolaborasi untuk mengubah sketsa Rifki menjadi karya digital yang bisa dipasarkan. Rifki ragu, lalu ikut nalurinya: mencoba.
Belajar Cepat, Bertindak Cepat
Tanpa modal besar, Rifki belajar lewat tutorial dan bertanya di komunitas. Dua minggu, ia mengubah sketsa menjadi animasi warna yang lembut dan dinamis. Ia beri nama karya itu “Sweet Harmony Bonanza” — pola warna yang bergerak seperti napas.
Satu pembeli internasional membeli karya itu; hasil penjualan cukup untuk memperbaiki laptop, menutup beberapa tagihan keluarga, dan menyisakan modal kecil. Bukan sekadar uang, tetapi bukti bahwa naluri yang ditindaklanjuti bisa berbuah nyata.
Viral dan Dampak Sosial
Cerita Rifki menyebar. Dari unggahan singkat menjadi pembicaraan yang menginspirasi. Sekolah menengah lokal mengundangnya berbicara; komunitas kreatif mengundang kolaborasi; anak-anak muda di kampung mulai bereksperimen dengan pola warna sendiri. Pola Bonanza berubah menjadi simbol: bukan cepat kaya, melainkan keberanian bereksperimen.
“Naluri itu bukan sekadar perasaan. Kadang, itu cara alam semesta ngajarin kita hal baru. Tapi kamu harus berani dengerin,” kata Rifki saat berbagi pengalamannya.
Makna di Balik Warna
Ketika ditanya makna pola, Rifki menyederhanakan: ungu untuk keberanian, hijau untuk keseimbangan, biru untuk ketenangan, merah muda untuk harapan. “Semua warna itu harus ada dalam hidup. Kalau hilang satu, keseimbangan rusak,” ujarnya.
Kata-kata sederhana itu meresap. Bagi banyak orang, pola bukan hanya estetika; ia cerminan proses: amati, catat, coba ulang, benahi. Sebuah metode kerja kreatif yang bisa diaplikasikan di bisnis, studi, atau kehidupan sehari-hari.
Membangun dari Keberanian Kecil
Rifki lalu membuka kelas daring kecil: Bonanza School of Balance. Ia mengajarkan dasar desain warna dan cara mendengarkan intuisi kreatif. Bukan kursus mahal, hanya ruang belajar bagi mereka yang ingin mulai. Peserta kelasnya datang dari berbagai latar: ibu rumah tangga, pelajar, teknisi, hingga seorang guru seni.
“Yang saya ajarkan bukan teknik instan. Saya ajarkan cara mendengarkan naluri lalu menyalurkannya dengan kerja keras,” kata Rifki.
Rutinitas yang Tetap Sama, Hasil yang Berbeda
Hampir setahun berlalu sejak malam itu. Rumah Rifki kini dipenuhi warna-warna karyanya; ia tetap sederhana, tetap rendah hati. Rutinitasnya tidak berubah drastis: tetap menolong warung tetangga, tetap membantu keluarga. Yang berubah adalah visi: dari kebimbangan menjadi percaya diri terukur.
“Aku nggak pernah cari kaya. Aku cuma pengen ngerti kenapa hidup ini punya ritme,” katanya. “Malam itu aku cuma berhasil mendengar musiknya.”